Tertikam Senja


Tertikam Senja

            Bauran prajurit putih dengan menenteng beberapa kitab menggeliatkan mata. Sebuah dering bel berhasil menghujam telinga dari beberapa detik yang lalu, juga bunyi gesekan sandal dengan tanah kasar yang berirama indah tak kalah menggelitik setiap orang yang mendengarnya. Alunan kaki tertuju pada tempat yang sama, sampai bunyi gesekan itu menghilang. Sebagai gantinya, dentuman tumit di atas lantai berlapis keramik putih pun mulai berderu. Berbanjar dan duduk merapat, menghadap sebuah mimbar. Seorang lelaki paruh baya dengan sorban putih yang ia sampirkan di pundaknya tengah berjalan mendekat bersama beberapa orang yang memakai pakaian yang sama. Dipeganglah sebuah mikrofon hitam setelah beberapa detik ia beranjak naik ke atas mimbar. Sama seperti biasa, berawal dari basmalah dan salam, dilanjutkan beberapa kata pengantar untuk selanjutnya adalah pidato yang panjang. Tak sangka, jam dinding yang menunjukkan pukul empat dengan jarum panjang berada di antara angka tujuh dan delapan berhasil membuat perubahan yang berarti bagi santri pondok pesantren ini.
            Opo aku wis telat banget iki yo?” Gadis berkerudung putih duduk di antara yang lain setelah berjalan grusak-grusuk menyisir ratusan santriwati.
            Lampu-lampu yang bergelantungan mulai dihidupkan. Senja sedang menyeringai pelan, pertanda ia akan menghilang, dan petang akan datang. Masjid berdominasi warna cokelat ini mendadak benderang. Bangunan bernapas ukiran khas jawa mulai sesak dengan ribuan orang. Ini adalah sebuah acara rutinan Kiai untuk mendawuhi para santri. Karpet berwarna hijau yang terbentang lebar telah tertutupi oleh banyak santriwati. Rina, gadis dengan gamis putih dan kerudung hitam yang ia kenakan terlihat tak bisa diam, mencari cela agar bisa duduk di samping orang yang sedari tadi ia cari.
            “Ealah, Rin… Rin. Kamu itu, yo, aku kira siapa. Wis to, lain kali jangan telat kayak gini lagi.” Gadis di sebelah Rina berbisik pelan sambil terus mengarahkan pandangan ke depan.
            Ning Rani, begitu sapaan akrab Rina kepada gadis berkerudung abu-abu di sebelahnya. Mereka adalah gadis berumur tujuh belas tahunan yang memutuskan untuk tinggal di sebuah pondok pesantren ternama di Jawa Timur. Rani adalah orang ndalem, begitu biasanya mereka menyebut orang-orang yang masih ada hubungan dengan Kiai. Ia adalah cucu Kiai sepuh di pondok pesantren ini. Sementara Rina adalah gadis kecil yang tak ingin berpisah dengan orangtuanya. Sangat singkat sebenarnya, tetapi ini bukanlah inti dari semua.
Berawal saat pertemuan tak sengaja di tahun 1997,  pondok pesantren yang masih bisa dibilang setengah jadi, dengan bagian belakang yang berdiri dengan anyaman bambu sebagai dindingnya. Jalanannya masih berdebu, tak ada batako yang tertata rapi di sepanjang jalan seperti sekarang. Di bagian muka pondok pesantren terhadap musholla kecil yang kini menjadi masjid terbesar di daerahnya. Satu-dua kendaraan berlalu lalang di hadapan Rina, membuat kerudungnya menari pelan. Gadis kecil berumur dua belas tahun terlihat sedang mengawinkan kedua alisnya di satu titik. Ia menatap jauh ke depan, seperti sedang menunggu seseorang. Rani, gadis kecil berbusana muslim berlari kecil ke arah Rina yang berdiri mengiup di bawah plang pondok pesantren. Ia menyapanya, bertanya mengapa tidak masuk saja. Rina menggeleng pelan, ia berkata bahwa ia ingin pulang, tak betah berlama-lama. Rani tersenyum manis, menariknya untuk membututinya ke musholla kecil. Di sana, entah apa, matahari pukul dua belas siang pun terlihat tak begitu terik, tetapi Rani berhasil membuat Rina kembali pada satu titik.
            Yo namanya darurat, Ning.” ucapnya gamblang dengan nada medhok khas Jawa. Rani hanya menggeleng pelan, masih tetap setia mendengarkan Kiai di depan.
            Opo lagi? Jarum?” Rina menyengir, memperlihatkan deretan giginya. Ini yang membuat mereka tampil berbeda. Rani dengan kepolosannya, dan Rina dengan sejuta jarum yang ia ambil, kemudian ia hilangkan.
            Yo yang namanya ngambil punya orang itu dosa loh, Rin. Meskipun cuma jarum,”
            “Alah, Ning. Iki aku ambil dari bandarnya jarum. Fitri punya buanyak, ndak kira rugi kalau tak ambil satu.” Sangat jelas, santriwati memang tak luput dengan jarum. Benda yang digunakan untuk menyatukan dua sisi kerudung yang terpisah. Sama seperti Rina yang tak luput dengan keteledorannya. Jarum menjadi suatu benda sekali pakai. Fitri, korban langganan kehilangan jarum yang juga teman sekamar mereka menjadi sasaran empuk Rina. Gadis dengan perawakan mungil itu memiliki sejuta jarum di loker kamarnya, memberi peluang Rina untuk mengambilnya dengan bebas.
            “Inget, Rin, kabeh kuwi ada balesannya. Awas, loh, meski cuma hal kecil, kalau nanti kamu ada di masyarakat, hal itu jadi tambah membesar dan buruk.”
            Senja tak menghalangi ratusan orang pembawa mikrofon dan kamera untuk berdiri menghadap bangunan besar di hadapan mereka. Bahu mereka saling bertabrakan, sepatu mereka saling menginjak. Beberapa orang memakai topi, menghindari sengatan matahari pukul dua belas tadi. Wajah mereka mulai kusam seiring waktu menunggu seseorang. Beberapa dari mereka mengangkat mikrofon dan kamera, lalu memberitakan hal-hal yang sedari tadi kerap dibicarakan. Sepersekian detik lampu kamera menyorot satu titik. Semua berbalik ke satu arah, menggantungkan beberapa percakapan yang sedari tadi mereka bicarakan.
            Beberapa orang melambai kepada beberapa orang lainnya. Sebagian berusaha menyelinap layak tikus mengejar makanan. Satu-dua orang mengangkat kamera dan menerobos. Lampu kamera semakin gemerlap. Semua mikrofon mengacung tegap ke arah pintu keluar. Berdempet meringsut ke depan jalan utama. Kerumunan lelaki memakai baju gelap berjalan berderet mengamankan seorang perempuan layak permata terjaga kerang. Pakaian putih dengan selendang yang ia julurkan dari ujung kepalanya, kacamata yang ia pakai untuk menutupi sebagian wajahnya disertai tundukan kepala. Beberapa wartawan mulai melontarkan peluru tajamnya. Perempuan itu tidak bergeming. Pasukan pengaman yang biasa disebut bodyguard menghempaskan beberapa orang yang mencoba menerobos benteng pertahanannya. Mikrofon-mikrofon itu terus menjulang tinggi, mengarah pada perempuan yang mulai mempercepat langkahnya, dan meringsut pergi bersama mobil hitam meninggalkan beberapa orang pemegang spanduk bertuliskan “TURUNKAN MENTERI KEUANGAN DARI KORUPSI JABATAN!!!”
            “Saudari Rina Wulaningsih, S.H, M.H. dengan kasus suap sebesar dua triliyun dan korupsi sebesar tujuh ratus lima puluh juta rupiah, divonis hukuman lima tahun penjara dan denda sebesar lima ratus juta rupiah.” Hakim mengetuk palu beberapa kali, pertanda bahwa hukumannya tak bisa diganggu gugat.
            Sorot lampu kamera bergemerlap. Orang-orang yang berada di dalam sana heboh. Beberapa orang terlihat gembira, dan beberapa yang lainnya menyusutkan muka. Rina, terdakwa kasus suap dan korupsi itu hanya terduduk diam, membiarkan beberapa kamera mengambil gambar dirinya yang sedang terpaku sendirian. Pikirannya menyeruak, sesal, sesesal-sesalnya. Anak-anak? Suami? Ibu? Bapak? Bahkan ia tak pernah sedikit pun memikirkan tentang orang-orang itu. Perempuan berumur tiga puluh tahunan dengan pakaian berwarna biru tua itu mengusap wajah beberapa kali, memperlihatkan keputus-asaan yang amat sangat. Kakinya masih kaku, tak dapat menopang tegap tubuhnya.
            Beberapa kata terbesit di otak Rina sesaat sebelum ia beranjak pergi dari tempat itu. Dulu, Rani, seseorang yang melintas sejenak di dalam hidup Rina pernah bercerita bahwa tak ada satu pun yang tak terbalaskan. Beberapa orang memilih untuk tidak mempercayainya, meskipun pada akhirnya mereka adalah orang-orang yang terjerumus di dalam timbunan penyesalan. Dua puluh tahun bersama jejak kaki yang kian menghilang dari halaman pesantren, memaksa Rina untuk mengusut ulang hal-hal yang telah terbenam jauh di dasar pikiran. Nama yang tak pernah sedikit pun muncul, tiba-tiba menggerogoti pikirannya saat ini. Bangunan yang tak pernah ia kunjungi lagi, kini menjadi saksi bisu dari apa yang pernah terjadi. Perempuan itu mengerang keras di dalam hati, sampai ia tak habis pikir dengan apa yang ia lakukan selama ini. Satu-dua orang menariknya untuk pergi. Ia menggeleng pelan, tak mau menyudahi penyesalannya saat ini. Ia menoleh, tersenyum getir kepada beberapa orang itu, pupil matanya mulai bergetar, melukiskan isi hatinya yang semakin meluap.
            Berbelok ke arah tikungan tajam. Melewati beberapa orang degan spanduk merah yang mereka acungkan di sepanjang jalan. Mata perempuan itu menggeliat saat terarah ke luar jendela, cepat-cepat ingin mengakhiri semua ini. Jari-jarinya saling berkutak satu sama lain. kakinya terasa kaku. Kata-kata hakim di pengadilan itu masih terngiang kuat di pikirannya. Beberapa ketukan palu yang hakim itu bunyikan berhasil membuat rahangnya mengeras. Otaknya terasa tak berfungsi lagi. Tak terpungkiri, sebentar lagi, sekutum bunga mawar akan membusuk di tengah-tengah kehampaan. Tiga tahun dengan kasus yang telah ditangani oleh KPK, hakim melemparkan hukuman lima tahun mendekam di penjara.
Mobil hitam yang dinaikinya berkelisut cepat, membuat beberapa kendaraan menghindar. Lampu merah berubah menjadi hijau, tak ada perubahan, mobil itu masih berjalan dengan cepat. Sopirnya memutar setir, membuat ia memutar kepalanya sembilan puluh derajat ke arah depan. Sepersekian detik terdegar suara decitan, teriakan beberapa orang menyeruak dari luar, perempuan itu tak bisa mengendalikan semua, sopirnya melepas setir. Sebuah truk mengarah ke arah mereka, perempuan itu mencoba membuka pintu mobil di sebelah kirinya. Nihil. Mobil tak bisa berhenti, rem tak mempan diinjak, dua orang di dalam mobil mulai frustasi. Beberapa detik akan berlalu dengan tragis. Perempuan itu menjerit, tapi suara gesekan badan mobil dengan kepala truk mengalahkan semua. Mengenaskan.
            “Aaaaaaaa!!!!”
            Jeritan keras dari Rina membuat semua mata tertuju kepadanya. Beberapa orang menggeleng pelan dan mengalihkan pandangan. Pundak Rina masih naik turun tak beraturan. Tangannya terasa dingin dan bergetar hebat. Pelipisnya berkeringat hingga membasahi kerudungnya. Rina mengusap wajahnya beberapa kali. Ia mulai mengedarkan pandangannya. Lampu-lampu yang bergelantung mulai hidup. Cahaya luar kian menyurut. Senja sedang menggelegar di luar sana. Rina bisa melihatnya. Matanya merekam beberapa orang yang sedang membeberkan sajadahnya, terlihat sedang bersiap untuk solat. Satu persatu orang ia tatap, mencari satu sosok yang merasuki pikirannya saat ini. Bola matanya berhenti di satu titik, menyorot seorang gadis berperawakan mungil yang sedang berjalan memunggunginya.
            “Fit—”
            Sial! Tenggorokannya tercekat saat beberapa kali ia memanggilnya. Rina mencoba melambaikan tangan ke arah Fitri. Tidak ada respon, bahkan Fitri tak menoleh kepadanya sama sekali. Rina mencoba mengambil langkah cepat untuk mendekati Fitri, tetapi kakinya tak bisa terayun, terpaku di satu titik. Ia meneriaki namanya beberapa kali, tetapi hasilnya tetap sama. Rina berusaha untuk meminta bantuan kepada satu-dua orang yang sedang berlalu lalang. Nihil. Ia tak bisa mengeluarkan suara, tak bisa meraih pundaknya. Kakinya kelu, berat untuk melangkah.
            Sebenarnya apa ini? Ia sama sekali tidak paham dengan apa yang terjadi. Hatinya berseru keras untuk cepat menemui Fitri, menjelaskan semua yang ia alami. Namun, apa daya? Ada sesuatu hal yang mencegahnya. Ia hanya berdecak kesal di dalam hati.
            “Rina!”
            Seseorang yang baru saja memanggilnya berhasil membuat beberapa keping sisa-sisa mimpinya berhamburan. Rina terduduk dengan cepat setelah sebelumnya menelungkupkan wajah di antara lipatan kakinya. Wajahnya penuh peluh. Tangannya masih gemetar. Tak lebih dari sepuluh menit pikirannya terkungkung di alam bawah sadar. Di dalam otaknya masih terekam jelas apa yang sepuluh menit tadi ia alami. Meninggalkan apa yang Kiai katakan beberapa menit yang lalu, larut dalam sensasi karma yang tengah diberikan senja kepadanya. Rina mengatur napas, seluruh pikirannya masih kacau. Tak peduli, ia memaksa dirinya untuk berdiri, membawa kakinya untuk tegap menopang tubuh, mengayunkan lagkah pasti menuju satu kata yang sedari tadi tertanam di dalam hati. Fitri!
            Seorang menteri itu adalah karma Allah yang Ia kirimkan bersama senja yang menikamku agar lebih dekat dengan-Nya.
Jombang, 15 Januari 2002
Tertikam Senja
           
            2015. Mengulum senyum menatap buku diary kusam di genggamannya. Sederhana. Hanya sepuluh menit terhujam bayangan, dan hilang tergulung ombak penyesalan.

Komentar

Posting Komentar